Mendadak Jalan-Jalan di Desa Tertinggi Se-Jawa
(Malam Minggu 7 Maret 2015)
Ini Catper yang saya tulis pertama kali. Berawal dari iseng searching di internet tentang Sikunir, lama-lama niatan saya untuk pergi ke sana semakin gede (semoga niatan saya ke Baitullah juga tidak kalah gede , aamiin). Saya mulai memprovokasi teman-teman buat pergi ke sana (hi hi jahat sekali saya). Dan akhirnya, usaha saya tidak sia-sia. Teman-teman saya setuju (karena dasarnya mereka juga hobi jalan-jalan hehe). Yes, habis pulang kerja kami sepakat langsung berangkat, soalnya kami juga belum tahu lokasi yang sebenarnya. Setelah seharian berdoa agar tidak ada rapat di tempat kerja kami, akhirnya kami empat manusia aneh (saya, mba Yanti, mba Iin, dan satu teman saya dari kaum adam) berangkat dari Temanggung dalam rangka menaklukan desa tertinggi se Jawa penuh semangat ’45', dengan dua motor. Bismillah semoga lancar and tidak nyasar.
Yups… perjalanan kami lancar jaya, namun sampai kota Wonosobo saya dan mba Yanti ketinggalan jauh dengan motor yang ditumpangi dua teman saya yang lain. Ditambah lagi kami salah jalur. Hp saya mati. Lengkap sudah penderitaan kami. Dan sekali lagi, senjata terakhir kami yaitu NEKAT, namun kurang sopan hihi. Setengah berteriak kami panggil pengendara motor di depan kami. Alhamdulilah mas-mas yang tidak sempat saya tanya namanya berbaik hati mau mengantarkan saya sampai jalan utama ke Dieng. Cihui.. asyik. Tapi mba Yanti was-was “jangan-jangan orang itu mau menipu kita?”. Heh jangan suudzon kawan!!. Setelah muter-muter ga jelas, saya berhasil berkumpul dengan “pasukan” yang satu dengan keadaan selamat tanpa kekurangan suatu apapun di alun alun Wonosobo. Lets go kembali melanjutkan perjalanan.
(Malam Minggu 7 Maret 2015)
Catper Bukit Sikunir
Yups… perjalanan kami lancar jaya, namun sampai kota Wonosobo saya dan mba Yanti ketinggalan jauh dengan motor yang ditumpangi dua teman saya yang lain. Ditambah lagi kami salah jalur. Hp saya mati. Lengkap sudah penderitaan kami. Dan sekali lagi, senjata terakhir kami yaitu NEKAT, namun kurang sopan hihi. Setengah berteriak kami panggil pengendara motor di depan kami. Alhamdulilah mas-mas yang tidak sempat saya tanya namanya berbaik hati mau mengantarkan saya sampai jalan utama ke Dieng. Cihui.. asyik. Tapi mba Yanti was-was “jangan-jangan orang itu mau menipu kita?”. Heh jangan suudzon kawan!!. Setelah muter-muter ga jelas, saya berhasil berkumpul dengan “pasukan” yang satu dengan keadaan selamat tanpa kekurangan suatu apapun di alun alun Wonosobo. Lets go kembali melanjutkan perjalanan.
Udara semakin dingin begitu kita meninggalkan kota Wonosobo. Kami berdoa semoga hujan tidak turun dulu (hihi curang ya). Kami berhenti untuk shalat Ashar di masjid yang didalamnya semua jamaah pake sorban semua. Kalo ga salah itu jamaah tabligh. Wih.. ruangan masjidnya full parfum aneka rasa. Kami jadi sedikit pusing karena aroma parfum itu. Setelah shalat dan istirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Berhubung hujan sudah tidak tahan untuk turun ke bumi, kami pakai mantel and road must go on.
Kami tidak yakin dengan jalan yang kami lalui, demi mencari titik aman kami bertanya pada mbak-mbak penjaga warung jalan menuju Sikunir. Mbak-mbaknya ngasih petunjuk kalau kita masih harus jalan terus sampai dusun Patak Banteng. Nah kalau sudah sampai sana kami disuruh nanya lagi. Benar kata mbaknya, tidak lama kami lihat plang bertuliskan dusun Patak Banteng. Sesuai petuah, kami bertanya lagi kepada mas penjual Carica. Sikunir ternyata masih jauh sodara. Yups… kami lanjutkan perjalanan. Oh iya, kami juga melewati basecamp pendakian gunung Prau. Wuih… jadi pengin kesana.
Mas Yon, satu-satunya spesies laki-laki di perjalanan, yang kami baiat menjadi pemimpin suku memutuskan untuk berhenti di Telaga Warna. Semua pasukan meng iya kan. Karena kaki kami juga pegel. Berhubung masih hujan dan cuaca dingin, kami putuskan jalan-jalan ke telaga warna tetap memakai mantel, tidak menyewa payung (hehehe menghemat biaya). Dan sepanjang perjalanan di Telaga Warna kami berempat tak ubahnya alien dari planet lain karena penampilan kami. Orang-orang yang berpapasan dengan barisan kami memandang heran sekaligus tersenyum. Ya bagi mereka kami lucu. Saya tergoda untuk masuk gua yang ada di hutan sebelah Telaga Warna, tapi teman-teman saya yang lain melarang. Sedikit kecewa. Tapi saya juga tidak boleh egois kan? Semoga lain kali saya bisa jalan-jalan di gua (gua mana ya? Hehe).
Berhubung hari sudah semakin sore dan kabut menari dimana-mana. Kami melanjutkan misi utama kami menuju desa Sembungan (Kecamatan Kejajar, Wonosobo). Tarif masuk desa sembungan Rp 5000,00 per orang. Semakin naik jalan semakin banyak yang berlobang. Kami belum tahu mau menginap dimana. Karena penginapan yang sebelumnya saya telpon untuk saya booking yaitu penginapan Bu Jono letaknya di Dieng. Sedangkan kami sudah berada di Sembungan. Sayang jika harus balik lagi ke Dieng.
Tuhan selalu menolong hambanya yang percaya tepat pada waktunya. Dijalan kami bertemu dengan penduduk Sembungan yang menawarkan penginapan kepada kami. Kami menyepakati asal harganya dibawah seratus ribu. Ternyata negosiasi tidak berjalan lancar. Kami mentok memberi harga seratus ribu demi menganut prinsip ekonomi dan kelangsungan hajat hidup kami satu bulan kedepan. Sang makelar mematok harga Rp 150.000,-. Wow harga itu diluar prediksi budget kami, karena penginapan yang kemarin saya booking harganya hanya tujuh puluh lima ribu semalam . Namun tetap saja kami kalah. Keadaan sudah malam, kami belum shalat dan tidak mungkin kembali ke Dieng. Yaaah.. dengan berat hati demi menyelamatkan badan teman teman saya yang mulai kedinginan (karena saya adalah otak dibalik perjalanan ini), deal seratus empat puluh ribu semalam.
Homestay yang kami tempati lumayan besar. Ada dua kamar, ruang tamu dilengkapi televisi, ruang shalat dan satu kamar mandi. Disana disediakan dispenser jadi kami tidak perlu beli minuman panas di luar. Berhubung letak homestay kami jauh dari jalan besar, kami disarankan parkir motor di dekat jalan saja. Awalnya kami khawatir masalah keamanan. Tapi kata mas makelarnya keamanan terjamin 100%. Oh ya makelar yang membantu kami mencari homestay namanya mas Andrianto, tapi satu jam selelah dia pergi dan kembali ke homestay kami dengan membawa tungku penghangat berubah nama mengaku bernama Erik huahahaha.. Sebelumnya kami dan mas Adrianto alias Erik sepakat jika ada pengunjung lain di homestay malam ini, maka harga yang kami bayarkan sebesar seratus empat puluh ribu rupiah akan diturunkan menjadi seratus ribu rupiah (otomatis uang kami kembali empat puluh ribu rupiah). Antar percaya dan tidak. Kesepakatan itu memang benar atau hanya taktik pemasaran saja?.
Kami tidak yakin dengan jalan yang kami lalui, demi mencari titik aman kami bertanya pada mbak-mbak penjaga warung jalan menuju Sikunir. Mbak-mbaknya ngasih petunjuk kalau kita masih harus jalan terus sampai dusun Patak Banteng. Nah kalau sudah sampai sana kami disuruh nanya lagi. Benar kata mbaknya, tidak lama kami lihat plang bertuliskan dusun Patak Banteng. Sesuai petuah, kami bertanya lagi kepada mas penjual Carica. Sikunir ternyata masih jauh sodara. Yups… kami lanjutkan perjalanan. Oh iya, kami juga melewati basecamp pendakian gunung Prau. Wuih… jadi pengin kesana.
Mas Yon, satu-satunya spesies laki-laki di perjalanan, yang kami baiat menjadi pemimpin suku memutuskan untuk berhenti di Telaga Warna. Semua pasukan meng iya kan. Karena kaki kami juga pegel. Berhubung masih hujan dan cuaca dingin, kami putuskan jalan-jalan ke telaga warna tetap memakai mantel, tidak menyewa payung (hehehe menghemat biaya). Dan sepanjang perjalanan di Telaga Warna kami berempat tak ubahnya alien dari planet lain karena penampilan kami. Orang-orang yang berpapasan dengan barisan kami memandang heran sekaligus tersenyum. Ya bagi mereka kami lucu. Saya tergoda untuk masuk gua yang ada di hutan sebelah Telaga Warna, tapi teman-teman saya yang lain melarang. Sedikit kecewa. Tapi saya juga tidak boleh egois kan? Semoga lain kali saya bisa jalan-jalan di gua (gua mana ya? Hehe).
Berhubung hari sudah semakin sore dan kabut menari dimana-mana. Kami melanjutkan misi utama kami menuju desa Sembungan (Kecamatan Kejajar, Wonosobo). Tarif masuk desa sembungan Rp 5000,00 per orang. Semakin naik jalan semakin banyak yang berlobang. Kami belum tahu mau menginap dimana. Karena penginapan yang sebelumnya saya telpon untuk saya booking yaitu penginapan Bu Jono letaknya di Dieng. Sedangkan kami sudah berada di Sembungan. Sayang jika harus balik lagi ke Dieng.
Tuhan selalu menolong hambanya yang percaya tepat pada waktunya. Dijalan kami bertemu dengan penduduk Sembungan yang menawarkan penginapan kepada kami. Kami menyepakati asal harganya dibawah seratus ribu. Ternyata negosiasi tidak berjalan lancar. Kami mentok memberi harga seratus ribu demi menganut prinsip ekonomi dan kelangsungan hajat hidup kami satu bulan kedepan. Sang makelar mematok harga Rp 150.000,-. Wow harga itu diluar prediksi budget kami, karena penginapan yang kemarin saya booking harganya hanya tujuh puluh lima ribu semalam . Namun tetap saja kami kalah. Keadaan sudah malam, kami belum shalat dan tidak mungkin kembali ke Dieng. Yaaah.. dengan berat hati demi menyelamatkan badan teman teman saya yang mulai kedinginan (karena saya adalah otak dibalik perjalanan ini), deal seratus empat puluh ribu semalam.
Homestay yang kami tempati lumayan besar. Ada dua kamar, ruang tamu dilengkapi televisi, ruang shalat dan satu kamar mandi. Disana disediakan dispenser jadi kami tidak perlu beli minuman panas di luar. Berhubung letak homestay kami jauh dari jalan besar, kami disarankan parkir motor di dekat jalan saja. Awalnya kami khawatir masalah keamanan. Tapi kata mas makelarnya keamanan terjamin 100%. Oh ya makelar yang membantu kami mencari homestay namanya mas Andrianto, tapi satu jam selelah dia pergi dan kembali ke homestay kami dengan membawa tungku penghangat berubah nama mengaku bernama Erik huahahaha.. Sebelumnya kami dan mas Adrianto alias Erik sepakat jika ada pengunjung lain di homestay malam ini, maka harga yang kami bayarkan sebesar seratus empat puluh ribu rupiah akan diturunkan menjadi seratus ribu rupiah (otomatis uang kami kembali empat puluh ribu rupiah). Antar percaya dan tidak. Kesepakatan itu memang benar atau hanya taktik pemasaran saja?.
Pucuk dicinta ulam tiba, pukul setengah sepuluh malam ada mas dan mbak dari kota Klaten yang berniat menginap. Artinya Rp 40.000,00 kembali ke kantong. Namun nego juga tidak lancar. Berbeda dengan masalah saya dan teman-teman karena tarik ulur harga, tetapi pasangan ini tarik ulur kamar yang akan disewa. Nah lho???? Iseng nguping, ternyata mereka maunya satu kamar. Padahal bukan sodara, bukan suami istri. Duh glodak deh. Terang saja, pemilik homestay tidak mengijinkan (saya setuju tuh). Akhirnya pasangan yang patut dicurigai itu tidak jadi menginap bareng kami . alhamdulilah. Pukul sepuluh malam dua mahasiswa dari Unnes ada yang menginap. “Hemm ingat perjanjian awal mas”, seru kami berempat mengingatkan sang makelar yang saya rasa pandai bersilat lidah. Yah… mas makelarnya malah berkelit ini itu, mba Iin teman saya yang memang konstruksi suara dan intonasinya keras cetar membahana langsung mengancam mas makelar dengan ayat-ayat alquran dan hadist tentang penipuan (maklum mba yang satu ini ustadzah tulen). Ealah malah mas makelarnya Cuma meringis mirip pasien takut disuntik dan langsung kabur. Kami ikhlaskan uang empat puluh ribu dan tidur pulas. Eh iya kami bertiga yang notabene adalah kaum hawa tidur di kamar. Sementara kepala suku kami tidur di ruang tamu. Sssttt kami kan bukan mahram dan bukan pasutri hehe.
Menurut rencana yang saya buat dengan kepala suku, kami mulai jalan ke puncak sikunir jam 04.00 ceritanya mau berburu sunrise. Tetapi dua teman saya sulit dibangunkan. Yah.. akhirnya kami mulai jalan jam 05.30 setelah sarapan nasi goreng yang penjualnya juga harus saya bangunkan dulu hehe. Oh iya harga satu porsi nasi goreng Rp 12.000,00. Kami parkir di sebelah danau Cebong. Dan … kami mulai mendaki.
Menurut rencana yang saya buat dengan kepala suku, kami mulai jalan ke puncak sikunir jam 04.00 ceritanya mau berburu sunrise. Tetapi dua teman saya sulit dibangunkan. Yah.. akhirnya kami mulai jalan jam 05.30 setelah sarapan nasi goreng yang penjualnya juga harus saya bangunkan dulu hehe. Oh iya harga satu porsi nasi goreng Rp 12.000,00. Kami parkir di sebelah danau Cebong. Dan … kami mulai mendaki.
Ditengah perjalanan yang belum ada seperempatnya, mba Yanti sudah ngos-ngosan. Bisa gawat nih. Kami memperlambat langkah demi menyamai langkah teman kami yang settingannya seperti putri solo. Oh iya, berhubung ini hari minggu maka pendakian dipenuhi manusia dari luar kota. Lengkaplah perjuangan kami. Sepertinya teman saya memang belum terinstal tubuhnya untuk pendakian ini. Kalau kami tinggal, namanya bukan sahabat dong. Akhirnya kepala suku setengah menyeret mba Yanti untuk tetap jalan. Masalah muncul lagi, mba Iin juga sudah menunjukkan tanda-tanda seperti “putrid solo”. Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Dalam hati saya “mampus nih.. kan saya otak dibalik jalan-jalan nekat ini, gubrak dah”. Kepala suku kami panik. Akhirnya dia dengan sekuat tenaga mendorong kedua teman saya untuk tetap naik. Saya sendiri yang memang sudah kepalang keras dan semangat enjoy-enjoy saja waktu jalan( hus jangan sombong ya). Mungkin karena settingan kaki saya yang asli orang kampung dan terbiasa jalan kaki hehe. Yess… alhamdulilah kami sampai setengah perjalanan. Kami hampir-hampir tidak kebagian tempat untuk berdiri. Setiap orang sibuk berpoto ria. Kami juga siap-siap merayakan “kesuksesan” dua teman kami yang dari tadi sudah ngos-ngosan dan berhasil naik dengan berpoto ria. Duh!! hp saya seperti tidak bisa diajak kerjasama. Baterainya mendekati sakaratul maut. Padalah tadi malam sudah saya cash berjam-jam. Tapi tak ada akar rotan pun jadi, tenang kami masih punya senjata andalan. Hp nokia jadul punya mba Iin masih bisa buat jeprat-jepret.
Setelah jeprat-jepret. Kami lanjutkan buat naik ke puncaknya. Mba yanti dengan suka rela mengakhiri tantangan dan perjuangan untuk sampai di puncak. Dia memilih nunggu di bawah demi keselamatan yang disebabkan oleh kurangnya keyakinan dan NEKAT. Saya selaku biang keladi perjalanan kami mewanti-wanti mba Yanti agar tidak kemana-mana selama kami jalan ke puncak (tanggungjawab kalo menghilangkan anak orang hehe). Kami bertiga lanjut perjalanan ke puncak Sikunir. Ditengah perjalanan kami menemukan gua yang kami tidak tahu namanya. Saya penasaran pengin masuk. Ketua suku kami juga penasaran, tetapi mba Iin takut. Jadi kami hanya menggambil gambar di depan gua saja.
Allahuakbar…, kami sampai puncak dengan selamat. Di puncak kami bisa melihat gunung Sindoro, Sumbing, Prau, Merbabu dan Merapi dari kejauhan. Angin bertiup kencang, jadi kami harus hati-hati dan berjalan merambat jika ingin naik ke bebatuan. Kami beristirahat sambil makan bekal kami. Puncak Sikunir sekarang mirip lapangan, soalnya banyak pendaki yang mampir kesini. jadi rumput tidak punya kesempatan untuk tumbuh hehehe. Fasilitasnya lumayan keren. Ada kamar mandi plus penjual minuman panas dan kentang goreng. Sejauh mata menandang (cie bahasanya) hamparan ladang kentang mendominasi pemandangan.
Setelah puas berfoto ria, mengunjungi semua sisi di puncaknya dan menikmati lukisan Illahi kami putuskan turun. Kasihan juga teman kami yang menunggu di bawah Sepanjang kami jalan, beberapa pendaki memandang kami aneh. Yups karena kami bertiga pakai rok (memang aneh ya naik gunung pake rok?). Kami menanggapi dengan senyum aja (haha sok cool n sok manis nih ye critane). Siapa tahu ada yang kecantol (huahuahua hus kok jadi kemana-mana ya pikirannya). Kami turun dan menemukan mba Yanti masih ditempat semula kami tinggal tadi. Alhamdullilah tidak hilang. Kami turun dengan hati riang dan merencanakan pendakian selanjutnya (yang ini hanya pikiran saya saja). Kami adalah gerombolan penganut semboyan manfaatkan waktu sebaik mungkin, jadi tidak kami sia-siakan kesempatan ini untuk mampir ke danau Cebong yang ada di bawah Sikunir. Banyak yang mendirikan dome di pinggiran danau. Kepingin sih, tapi mengingat cuaca yang super dingin lebih baik kami tidur dipenginapan saja. Kami puas mengelilingi danau dan kembali ke homestay untuk mandi dan shalat Dhuha. Setelah packing, kami pamitan dengan pemilik homestay, tapi kami tidak bertemu mas Adrianto alias Erik. Mungkin takut ya karena sudah ingkar janji pada manusia seperti kami hihi.
Keluar dari desa Sembungan hujan menyambut kami. Lumayan deras. Atas inisiatif kepala suku kami, destinasi selanjutnya adalah candi Arjuna. Sebenarnya kami pengin ke kawah Sikidang. Berhubung hujan semakin deras. Kami mengikuti instruksi kepala suku kami. kami berubah menjadi siluman alien lagi ketika masuk kawasan candi Arjuna. Kami tidak melepas mantol dan helm. Jadilah kami bahan tertawaan pengunjung lain yang tersenyum geli ke arah kami.
Sampai Dzuhur kami keliling dengan ogah-ogahan. Karena badan kami sudah basah. Foto-foto tidak senarsis waktu di Sikunir hehe. kami putuskan shalat Dzuhur dan kembali pulang. Kecewa juga karena kami hanya mengunjungi tiga tempat saja, kami masih penasaran dengan air terjun Sikarim, Siti Hinggil dan objek lainnya. Semoga lain waktu kita bisa kesini lagi sekalian nanjak ke gunung Prau. Sampai jumpa lagi…. Yuuk gabung sama kita (gabungan manusia nekad). (Sri Mas Kutir)
Setelah jeprat-jepret. Kami lanjutkan buat naik ke puncaknya. Mba yanti dengan suka rela mengakhiri tantangan dan perjuangan untuk sampai di puncak. Dia memilih nunggu di bawah demi keselamatan yang disebabkan oleh kurangnya keyakinan dan NEKAT. Saya selaku biang keladi perjalanan kami mewanti-wanti mba Yanti agar tidak kemana-mana selama kami jalan ke puncak (tanggungjawab kalo menghilangkan anak orang hehe). Kami bertiga lanjut perjalanan ke puncak Sikunir. Ditengah perjalanan kami menemukan gua yang kami tidak tahu namanya. Saya penasaran pengin masuk. Ketua suku kami juga penasaran, tetapi mba Iin takut. Jadi kami hanya menggambil gambar di depan gua saja.
Allahuakbar…, kami sampai puncak dengan selamat. Di puncak kami bisa melihat gunung Sindoro, Sumbing, Prau, Merbabu dan Merapi dari kejauhan. Angin bertiup kencang, jadi kami harus hati-hati dan berjalan merambat jika ingin naik ke bebatuan. Kami beristirahat sambil makan bekal kami. Puncak Sikunir sekarang mirip lapangan, soalnya banyak pendaki yang mampir kesini. jadi rumput tidak punya kesempatan untuk tumbuh hehehe. Fasilitasnya lumayan keren. Ada kamar mandi plus penjual minuman panas dan kentang goreng. Sejauh mata menandang (cie bahasanya) hamparan ladang kentang mendominasi pemandangan.
Setelah puas berfoto ria, mengunjungi semua sisi di puncaknya dan menikmati lukisan Illahi kami putuskan turun. Kasihan juga teman kami yang menunggu di bawah Sepanjang kami jalan, beberapa pendaki memandang kami aneh. Yups karena kami bertiga pakai rok (memang aneh ya naik gunung pake rok?). Kami menanggapi dengan senyum aja (haha sok cool n sok manis nih ye critane). Siapa tahu ada yang kecantol (huahuahua hus kok jadi kemana-mana ya pikirannya). Kami turun dan menemukan mba Yanti masih ditempat semula kami tinggal tadi. Alhamdullilah tidak hilang. Kami turun dengan hati riang dan merencanakan pendakian selanjutnya (yang ini hanya pikiran saya saja). Kami adalah gerombolan penganut semboyan manfaatkan waktu sebaik mungkin, jadi tidak kami sia-siakan kesempatan ini untuk mampir ke danau Cebong yang ada di bawah Sikunir. Banyak yang mendirikan dome di pinggiran danau. Kepingin sih, tapi mengingat cuaca yang super dingin lebih baik kami tidur dipenginapan saja. Kami puas mengelilingi danau dan kembali ke homestay untuk mandi dan shalat Dhuha. Setelah packing, kami pamitan dengan pemilik homestay, tapi kami tidak bertemu mas Adrianto alias Erik. Mungkin takut ya karena sudah ingkar janji pada manusia seperti kami hihi.
Keluar dari desa Sembungan hujan menyambut kami. Lumayan deras. Atas inisiatif kepala suku kami, destinasi selanjutnya adalah candi Arjuna. Sebenarnya kami pengin ke kawah Sikidang. Berhubung hujan semakin deras. Kami mengikuti instruksi kepala suku kami. kami berubah menjadi siluman alien lagi ketika masuk kawasan candi Arjuna. Kami tidak melepas mantol dan helm. Jadilah kami bahan tertawaan pengunjung lain yang tersenyum geli ke arah kami.
Alien dari planet lain |
Sampai Dzuhur kami keliling dengan ogah-ogahan. Karena badan kami sudah basah. Foto-foto tidak senarsis waktu di Sikunir hehe. kami putuskan shalat Dzuhur dan kembali pulang. Kecewa juga karena kami hanya mengunjungi tiga tempat saja, kami masih penasaran dengan air terjun Sikarim, Siti Hinggil dan objek lainnya. Semoga lain waktu kita bisa kesini lagi sekalian nanjak ke gunung Prau. Sampai jumpa lagi…. Yuuk gabung sama kita (gabungan manusia nekad). (Sri Mas Kutir)
Pesona Keindahan Sikunir |
0 Response to "Pesona Bukit Sikunir Desa Tertinggi Se-JAWA ( Catper )"
Post a Comment
Silahkan berkomentar, dilarang Spam