Oleh Mbak Srimaskutir
April 2011
Aku
diam. Menunggu laki-laki tendensius
itu membuka percakapan. Percakapan yang kabur, begitu aku menamainya. Diujung
senja itu.
“Ada apa?” Tanyanya.
“Ada apa?” Tanyanya.
“Tidak.”
Aku menjawab pendek.
Apakah
kamu menyukaiku?” Sebuah kalimat yang mengejutkan, lucu, lugu dan penuh
kepongahan.
Aku
memendamkan pandanganku pada aspal hitam.
“Jangan
sombong”. Aku menjawab sekenanya.
Dia tertawa sambil meremas buku yang baru dia baca. Aku bisa menerka ekspresinya. Dia menoleh kearahku, sedikit kemudian menundukkan pandangannya lagi. “Kawan aku tahu kenapa dia bersikap demikian”. Doktrin religiuitas yang telah membentuk separuh kejiwaannya menyebabkan itu.
Dia tertawa sambil meremas buku yang baru dia baca. Aku bisa menerka ekspresinya. Dia menoleh kearahku, sedikit kemudian menundukkan pandangannya lagi. “Kawan aku tahu kenapa dia bersikap demikian”. Doktrin religiuitas yang telah membentuk separuh kejiwaannya menyebabkan itu.
“Baiklah, apa yang bisa kau banggakan hari ini?” Dia mengalihkan pembicaraan.
“Bukankah
sudah aku katakan, aku sangat biasa dan tidak ada yang perlu aku banggakan.”
Lelaki
ambisius itu tersenyum, seperti meledekku sambil menganggukan kepalanya.
Seperti murid yang mendengarkan petuah gurunya meskipun tidak paham
dengan apa yang dijelaskan sang guru.
“Itu bertanda kamu semakin cerdas, mana ada orang bijak yang mengaku bijaksana.” Kalimat itu, entah sebagai bentuk penghargaan kepadaku atau intermezzo yang memuakan.
“Itu bertanda kamu semakin cerdas, mana ada orang bijak yang mengaku bijaksana.” Kalimat itu, entah sebagai bentuk penghargaan kepadaku atau intermezzo yang memuakan.
Aku
enggan menanggapi kata-katanya. Ini bukan ajang perdebatan.
“Kenapa diam?” Dia melanjutkan.
“Kenapa diam?” Dia melanjutkan.
“Itu
kenapa banyak orang bijak yang masuk neraka.” Jawabku
“What?
What is the meaning of this word?” Dia menunjukkan kesombongannya lagi.
“Aku
orang Indonesia.”
Dia
tertawa, sepertinya mengejekku, norak!!, norak sekali. Biar saja. “aku tahu
maksudnya.” Dia menambahkan.
“Bukankah
kamu tidak ingat, kemarin siapa yang mengatakan kalau manusia tidak pantas
membanggakan apa yang ia miliki.”
Dia
beristighfar berkali-kali, sambil mengelus dada dan kepalanya. Sekali lagi aku
katakan, norak sekali. Sejenak diam lalu tertawa, aku sulit menmahaminya,
apakah tawanya adalah tawa orang kesetanan, atau tawa orang mendapat hadiah
dari judi togel, atau tawa para juragan yang berhasil mengeruk untung.
“Terima kasih”. Ujarnya pelan. Sedikit, aku bisa menerka dia berbakat untuk menjadi aktor di lihat bagaimana dia mampu mengubah ekspresianya, yang pasti bukan aktor laga.
“Terima kasih”. Ujarnya pelan. Sedikit, aku bisa menerka dia berbakat untuk menjadi aktor di lihat bagaimana dia mampu mengubah ekspresianya, yang pasti bukan aktor laga.
“Apa
kamu punya mimpi.” Ia mengiterogasiku.
Belum
sempat aku menjawab dia melanjutkan, “aku punya mimpi yang besar. Kamu tahu aku
ingin menjadi juragan bakso dengan kedai di seribu kota. Satu lagi aku ingin
menjelajah eropa.” Ia meledak-ledakkan mimpinya.
“Plagiat dot com” Aku memotong
ucapannya. “Kamu tidak sedang menjadi seperti Arai di Sang Pemimpi.” Aku
melanjutkan.
“Oho,
aku sudah ijin sama mas Andrea.” Jawabnya asal.
“Jangan
kepedean.” Aku mulai mendebat.
“Bukankah
kamu sendiri yang memproklamasikan jika setiap manusia harus pede.” Dia tidak
mau kalah.
“Sudahlah.”
Aku membetulkan letak tas di pundakku.
“Kamu
mau pulang?”
“Ya.”
Aku berlalu
Dari
kejauhan aku masih mendengar dia berteriak mengucapkan chayo-chayo.. kepadaku.
Aku tidak peduli.
Hidup
ini terkadang sulit untuk kita reka. Sekalipun kita cerdas dan ogah-ogahan
untuk mengundurkan diri dari jabatan juara umum seantero sekolah. Sekalipun
kita tergila-gila dengan pekerjaan kita. Sekalipun kita berusaha sekuat hati
untuk dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Hidup
tidak bisa dikalkulasikan secara logika. Tapi bisa kita intip prediksinya.
Meskipun demikian, kita harus mempersiapkan tameng kesabaran jika sewaktu-waktu
apa yang kita intip itu tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Hidup ini
tidak seperti kalkulus matematika.
Aku menemuinya lagi diujung hari yang menyengat. Di pesimpangan jalan menuju masjid, Hatiku seperti ditarik-tarik.
Aku menemuinya lagi diujung hari yang menyengat. Di pesimpangan jalan menuju masjid, Hatiku seperti ditarik-tarik.
“Ada
apa.” Aku mulai dengan kalimat yang sama. Membosankan. Tapi hanya itu yang bisa
aku sampaikan sebagai pembukaan.
“Apa
tidak ada kata selain itu?” Dia protes.
“Ya,
hanya itu.”
“Tunggu
dulu.” Dia berlari meninggalkanku. Mengambil kantong plastik hitam, besar. Aku
sedikit kege-eran.Hidungku kembang-kempis.
“Aku
lebih maju hari ini.”
Aku
tidak tahu dengan arah ucapannya.
“Save
our eart, save from global warming. What you know?” Norak sekali.
Dia menyerahkan satu lipatan kantong padaku.
Dia menyerahkan satu lipatan kantong padaku.
“Nanti
kalau kamu mabok di dalam bus.” Dia tertawa.
“Apa kamu tahu, apa yang kamu ucapkan itu suatu kesalahan dan apa kamu tahu
kesalahan itu menimbulkan dosa.” Aku menjawab tanpa ekspresi.
“Ya….”
Kepalanya mengangguk.
“Aku
tahu, kamu pasti tahu maksudku.”Sejenak, “Aku ingin menjelajah semua
gunung di pulau jawa.” Gila. Itu kiranya kata yang tepat untuk mengeja jalan
pikirannya.
“Ya,
aku doakan semoga kamu sampai di puncak merapi.”Jawabku konyol.
“Akan
aku buktikan.”
“Satu
lagi, perkataaanmu akan diminta oleh Tuhan.”
Dia
melakukan ritualnya lagi, mengucapkan istighfar
sambil mengacak kepalanya.
“Apa yang bisa kamu banggakan hari ini?”
“Apa yang bisa kamu banggakan hari ini?”
“Apa
kamu tidak mendengar perkataanku kemarin?”
“Kau
sombong sekali.”
“Tuhan
yang lebih tahu.”
“Apa
kamu mencintai Tuhan?”
“Tanyakan
pada dirimu sendiri.”
“Kenapa?”
“Aku
tahu kamu lebih tahu.”
Aku
tidak melanjutkan kata-kataku. Sibuk memainkan kantong hitam pembawa misi
kebersihan.
“Jangan
di buang, tapi digunakan. Ini amanah.” Katanya. Seperti menyelidiki jalan
pikiranku
“Jangan di buang, tapi digunakan. Ini amanah.”
Katanya lagi.
“Aku
tahu.”
Hujan
turun menampar bumi. Suaranya seperti mengejekku, "Rasain sekarang
kamu tidak bisa kelayapan". Aku enggan berdebat dengan hujan,
"biar saja, lakukan semaumu asal jangan kamu buat rumahku jadi banjir, ini
aku lakukan karena aku menghargaimu sebagai sesama ciptaan Tuhan."
Laki-laki
ambisius itu, aku, hujan , waktu dan kehidupan kian samar, rabun, buram namun
tidak hilang. Di tengah amukan hujan, samar aku dengar, "apa kamu
menyukaiku.", Jangan terlalu pe-de"
Lelaki Ambisius |
-End-
0 Response to "Laki-Laki Ambisius itu Yang Benar-Benar Aku Cintai – Sebuah Cerpen"
Post a Comment
Silahkan berkomentar, dilarang Spam