Perempuan Biasa Yang Luar Biasa dalam Sebuah Sajak - Namaku Sulastri


NAMAKU SULASTRI

Desember 2011

Namaku sulastri. Kalian boleh memanggilku dengan nama sulas atau lastri, ya kalian boleh memilih keduanya atau… mungkin kalian mau memanggil nama lengkapku? Silakan saja. Aku sengaja tidak akan menambah atau mengurangi deretan huruf dalam namaku, misalnya saja cukup panggil aku dengan nama “Astri”. Ah keren sekali kelihatannya, mirip sekali dengan nama orang-orang di kota besar sana. Tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan nama itu, biar saja. Biar norak begini.

Aku sudah katakan pada Bapak dan Ibuku di kampung sana, jika aku akan tetap seperti apa adanya, tidak berubah secuil pun. Jika suatu saat nanti aku telah menyeret gelar terhebat dan tertinggi di Universitas, aku mungkin akan tetap menjadi perempuan kampung yang tidak tahu bagaimana cara berdandan, tidak tahu cara bagaimana berjalan menurut tata cara orang-orang hebat , tidak tahu bagaimana cara berbicara yang baik menurut orang-orang kota sana. Biar saja begitu. Aku akan tetap menjadi perempuan kampung yang tidak perlu cemas gara-gara polesan make up –nya tidak rata, tidak perlu risau karena berat badanku yang tidak ideal atau aku tidak perlu galau karena kulit tubuhku menghitam karena matahari.

Hem…, jika suatu saat nanti aku didaulat untuk menyampaikan hasil risetku yang sudah diakui oleh sinihun akademisi, aku tetap akan tertunduk gugup dengan kalimat yang sedikit tercecer kesana kemari, gaya bahasaku akan tetap “sungsang-sarik” seperti saat aku mengikuti lomba pidato di TPA kampung dulu.

Ah,… kau seharusnya tahu lebih dulu siapa aku. Karena kau mungkin akan terheran-heran melihat tingkah polahku yang mirip anak kecil. Kau tak perlu heran jika melihat aku tengah berlari-lari mengejar layangan putus di lapangan, melihatku asyik bermain kelereng dengan anak-anak tetangga depan rumah, atau ketika kau memergoki aku tengah asyik bercerita dengan kakek-kakek tua di ujung kampung.

Kau juga seharusnya tahu, bagaimana aku begitu bangga dengan diriku, dengan otak bututku, dengan tawa kampunganku, dan semua ekspektasi yang melekat dalam diriku, tanpa sedikitpun ingin aku ubah. Silakan saja kau sebut aku dengan sebutan perempuan norak dan kampungan. Silakan saja… aku tidak akan marah, karena aku memang seperti itu.

Maaf sekali lagi, kemarin kau menyebutku dengan sebutan perempuan ndeso…, oh tidak apa-apa, aku terima dengan senang hati. Bukankah itu memang kenyataannya? Jangan kau mengais sesuatu yang berbeda dalam diriku, karena aku terlampau amat sangat biasa dan akan tetap menjadi biasa. Dengan segala yang memang biasa, wajah, otak, rasa, cerita dan cinta yang biasa, tapi luar biasa. Membingungkan ya?????

Karena aku sulastri, perempuan kampung yang ingin menyabet gelar terhebat dan tertinggi di universitas. Bukan gelarnya, tapi karena aku terlalu rakus dengan intisari di dalamnya, yaitu ilmu.

Gelar itu hanya gelar semu, dan aku tidak berambisi merangsek dan merebutnya dengan kasar, seperti umpatan yang kau layangkan padaku tempo hari. Tapi akan aku rebut dengan anggun tanpa kong-kalikong seperti pejabat-pejabat di negeri kita.
Dan akan aku katakan, jika kau tak akan mampu mengubah setiap inci dalam diriku.
Sekali lagi, panggil aku sulas atau lastri. Bukan astri atau asti…

Perempuan Sederhana wajah, otak, rasa, cerita dan cinta yang biasa, tapi luar biasa
Namaku Sulastri


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perempuan Biasa Yang Luar Biasa dalam Sebuah Sajak - Namaku Sulastri"

Post a Comment

Silahkan berkomentar, dilarang Spam